Rabu, 16 Desember 2009

Pemimpin: Dilahirkan atau Diciptakan?

Orang selalu kagum pada seorang pemimpin. Di dunia ini, terutama di banyak organisasi, terserak melimpah ruah pimpinan, tetapi sedikit pemimpin. Pimpinan belum tentu seorang pemimpin. Pimpinan lebih bersifat manajerial. Pimpinan bekerja berdasarkan SK. Kepemimpinan bukan saja bersifat manajerial. Kepemimpinan adalah juga perilaku. Pemimpin tidak harus selalu mendapatkan legitimasi formal.

Tidak bisa dipungkiri bila banyak orang kagum pada Bung Karno, juga terinspirasi Mahatma Gandhi (maha = besar, atma = jiwa, jadi mahatma berarti jiwa yang besar). Orang terpesona oleh John F. Kennedy, kagum pada Hitler, dan salut pada Nelson Mandela.
Tak sedikit pula yang kagum pada kegigihan Martin Luther King, kepintaran Abdurrachman Wahid, kejujuran Nurcholish Madjid, kecerdasan Jalaluddin Rakhmat, semangat Mahathir Mohamad. Mereka semua menyimpan fakultas (kualitas) kepemimpinan.

Lantas, apakah yang disebut kepemimpinan? Ada beragam definisi kepemimpinan. Menurut Hill & Coons, kepemimpinan adalah perilaku seorang individu ketika ia mengarahkan sebuah kelompok menuju tujuan bersama. Menurut Stogdill, kepemimpinan adalah pengawalan dan pemeliharaan suatu struktur dalam harapan dan interaksi. Dalam definisi Roach & Behling, kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas sebuah kelompok terorganisasi menuju pencapaian suatu tujuan. Saya masih bisa sebutkan lagi sejumlah definisi kepemimpinan.

Memang ada beraneka ragam definisi tentang kepemimpinan. Untungnya, Sarlito Wirawan Sarwono, psikolog sosial dari Universitas Indonesia, dalam bukunya Psikologi Sosial, merangkum definisi-definisi tadi menjadi satu definisi integral. Menurut Sarlito, kepemimpinan adalah suatu proses, perilaku, atau hubungan yang menyebabkan suatu kelompok dapat bertindak secara bersama-sama atau bekerja sama atau seusai dengan tujuan bersama. Berkaitan dengan definisi itu, yang dinamakan pemimpin adalah seorang yang melaksanakan proses, perilaku, atau hubungan dalam kelompok tersebut.

Alexandra Auguste Ledru-Rollin, politisi Perancis yang hidup dua setengah abad lalu, menegaskan bahwa seorang pemimpin adalah penyeru: “Ya, sayalah pemimpin, karena itu saya harus mengikuti kemauan orang-orang yang saya pimpin!” Pemimpin mustinya mengikuti kepentingan dan keinginan orang banyak yang selayaknya dilayani. Di negeri kita, betapa gampang menemukan “penguasa”, betapa sulit bertemu “pemimpin”.

Sukarno, Gandhi, Kennedy, Mandela, King, dan Mahathir adalah pemimpin hebat. Mereka sepertinya lahir untuk menjadi pemimpin. Sepertinya bakat kepemimpinan telah melekat dalam diri mereka. Sepertinya Tuhan telah mencampakkan bakat itu sejak mereka dalam belaian orang tuanya. Mereka terlahir sebagai pemimpin.

Dus, apakah seorang pemimpin memang semata-mata dilahirkan? Ini pertanyaan besar. Bila jawabannya iya, maka hal ini sangatlah tidak adil. Karena dengan begitu sifat-sifat kepemimpinan tidak bisa dimiliki semua orang. Sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang bisa menikmati anugerah kepemimpinan. Karenanya, bagaimana sesungguhnya asal mula pemimpin?

Dalam literatur-literatur kepemimpinan, ada tiga buah konsep dasar mengenai asal-usul kepemimpinan dan pemimpin. Ketiga teori tersebut adalah teori genetis, sosial, dan sintesis.

Yang pertama, teori genetis. Teori genetis mengatakan bahwa pemimpin itu dilahirkan. Kepemimpinan mengikuti garis keturunan. Kepemimpinan adalah bakat yang telah ada sejak seseorang dilahirkan. Megawati dianggap memiliki bakat kepemimpinan karena ayahnya seorang pemimpin. Sementara si Udin tidak dianggap memiliki kualitas kepemimpinan karena ayahnya cuma seorang petani desa. Tetapi, benarkah begitu?

Pertanyaan di atas membawa pada teori kedua: teori sosial. Teori ini mengatakan bahwa pemimpin lebih merupakan bentukan sosial. Pemimpin datang dari lingkungan sosial yang membentuknya. Intinya, menurut teori sosial, pemimpin bukan bakat, melainkan suatu proses penciptaan oleh lingkungan sosialnya.

Namun, kedua teori tadi sangat bersifat deterministik: pemimpin semata-mata hanya ditentukan oleh gen (garis keturunan) atau oleh lingkungan sosial. Mustinya pemimpin itu adalah seorang yang dilahirkan (memiliki bakat kepemimpinan) dan juga telah dipupuk oleh lingkungannya. Pemimpin bukan hanya bakat, tetapi juga harus memperoleh dukungan dari kelompok sosialnya, agar bakat itu bisa tumbuh berkembang. Inilah teori ketiga. Teori ini menggabungkan teori genetis dan teori sosial. Karena itu teori yang ketiga ini dikenal dengan sebutan teori sintesis.

Jujur saja, saya tidak sepenuhnya sepakat dengan ketiga teori di atas. Saya tidak percaya bahwa pemimpin itu semata dilahirkan. Saya tidak setuju bila dikatakan pemimpin itu hanya diciptakan oleh lingkungan sosialnya. Saya lebih tidak sependapat dengan teori sintesis yang cuma menggabungkan teori genetis dan sosial.

Bagi saya, kepemimpinan adalah kualitas pribadi. Kepemimpinan diolah dan dipoles secara sadar oleh si individu itu sendiri. Kepemimpinan tidak terkait dengan bakat. Kepemimpinan tidak ada hubungan dengan kondisi sosial. Kepemimpinan adalah proses sadar dari sang calon pemimpin untuk suatu saat siap menjadi pemimpin. Artinya, dia mempersiapkan dirinya sendiri untuk siaga menjadi pemimpin di masa depan. Atas dasar itu, siapapun bisa menjadi pemimpin. Minimal pemimpin bagi diri sendiri.

Urging Bureaucratic Reform in Jakarta

Jakarta Post on 21 August 2009 wrote that Jakarta Governor Fauzi Bowo have stated that his administration and businesspeople need to change their approach in order to make Jakarta as a service city. Following that, Fauzi Bowo pledged to forge the administration more accountable and transparent.

What the governor has promised should be appreciated and supported. However, the most important thing is that this initiative ought to be implemented as soon as possible. The sooner the better. Delaying the measure is likely to jeopardize business climate and weaken fighting against graft.

Healthy business environment needs the government's woos. Yet, it is undoubtedly true that bureaucracy in Indonesia does not condone business needs in providing fast and easy services.

The 2008 global competitiveness report launched by World Economic Forum on competitiveness ranked Indonesia at 55th out of 134 countries. It means that the country is quite unattractive for business activities. Indonesia's competitiveness has been weakened due to corrupt practices and bureaucratic inefficiency (KPK, 2009).

Talking on corruption, according to Transparency International’s CPI in 2006, 2007 and 2008, it seems that Indonesia remains one of the most corrupt country. The country ranks 130 among 163 countries surveyed in 2006, and ranks 143 among 179 countries surveyed at the subsequent year. However, although Indonesia managed to reach higher position at 126 among 180 states surveyed in 2008, it is still not sufficient due to some ASEAN countries are better in combatting corruption, such as Vietnam, Thailand and Malaysia. Those surveys are lucidly showing that investors are more likely to spend their capital on those three neighbouring countries than in Indonesia.

Moreover, the Regional Autonomy Monitoring Committee (KPPOD) in 2007 found a fact. It states that businesspeople face complicated procedures, long time lags and high costs in obtaining business permits. Actually, the finding is not so surprising as it is a common practice in some public service sectors.

Dealing with bureaucracy means that companies have to spend much time and money in order to obtain licenses to operate business in Indonesia. The World Bank has calculated that in Indonesia it takes an average of 151 days to complete all the paperwork required to start a company, against 30 in Malaysia and eight in Singapore. The relevant permits cost 131% of Indonesia's average annual income per head, compared with 20% in the Philippines and 7% in Thailand.

Another survey conducted by the Corruption Eradication Commission (KPK) in 2008 on public sector integrity gives an indication that government officials remain practicing corrupt attitudes. On the other hand, although there are already mechanisms to control corruption, they are unable to create corruption-free conditions. The survey also placed Jakarta in 38 of 52 local governments surveyed. It shows that systems and environments supporting transparency and professionalism of Jakarta public service officers are still poor.

On account of those evidence, bureaucratic reform is the urgent way in terms of obtaining a clean and transparent state institutions, particularly in Jakarta city administration. Reforming Jakarta bureaucratic system is an essential attempt since the city is a place where virtually businesspeople process business permits and run their enterprises. In this case, it is a must to make Jakarta as a business-friendly city by managing good governance.

Aspects of the Reform

Bureaucratic reform is a sustainable and holistic effort. It consists of reforming all structures within the government's organizations. Hence, there are some aspects which should be considered in conducting bureaucratic reform.

Firstly, each institutions in the government should have clear vision and mission. Then, creates activity plans which are correlated directly with the achievement of both vision and mission.

In addition, it is very important for the government to develop innovative strategies on enhancing the achievement of its vision and mission. Innovative strategies are needed to boost the quality of public services and avoid the state officials doing only usual daily activities.

Secondly, the government employees must have appropriate ability in order to carry out successfully their tasks. In other words, professionalism is the basic competence for the state officials. Right staffs on the right positions.

Thirdly, improving human resources management system, from recruiting, remuneration, training, promoting to retiring procedures. Remuneration, for instance, should be raised with consideration that it must be based on capacity and performance. In relation with this term, reward and punishment must be applied. On the other hand, recruitment system must be conducted in transparent and fairness way so that the government could get the best candidates.

Furthermore, the organizations must produce code of conduct. Parallel with this effort, a committee must be established within each organizations to scrutinize whether the government employees break the conduct or not.

Eventually, empowering supervisory units to monitor the business process of the institutions. It is also in order to ensure the activities within the organizations remain on track.

The reform should be done with profound commitment. It needs strong political will. Jakarta Governor has cited that reforming bureaucracy requires more than just lip service. To our mind, it is obviously true. Consequently, Fauzi Bowo has to prove to Jakarta citizens, especially businesspeople, that he is considerably serious in reforming his administration.

Korupsi & Pelayanan Publik

Wacana pemberantasan korupsi belakangan ini menjadi bahasa populer. Semua kalangan membincangkannya. Mulai perbincangan formal di tingkatan elit sampai obrolan santai di warung kopi. Hal ini wajar, mengingat orang Indonesia adalah orang yang kenyang jeratan korupsi: sejak lahir hingga diantar ke liang lahat, mulai bangun pagi sampai tidur lagi di malam hari. Korupsi meliputi hampir seluruh ranah kehidupan orang Indonesia: mengurus akta kelahiran, SIM, KTP, mendaftar sekolah, melamar pekerjaan, mengurus pensiun, pulang mudik, memperoleh pengobatan gratis.

Secara teoritis, ada dua pendekatan dalam pemberantasan korupsi. Pendekatan pertama, memusatkan perhatian pada pemerintah. Pendekatan kedua, berpusat pada masyarakat.

Pada pendekatan pertama, subyek utama pemberantasan korupsi adalah struktur pemerintahan dan kebijakannya. Pendekatan ini mendesak adanya undang-undang antikorupsi, perubahan undang-undang antikorupsi, penegakan hukum, dibentuknya pengadilan tipikor, penindakan terhadap para koruptor.

Sementara, pada pendekatan kedua, prioritas utama adalah perubahan sosial. Pendekatan ini berupa penguatan kesadaran masyarakat. Membentuk pemahaman masyarakat bahwa korupsi telah menyaplok hak publik untuk hidup sejahtera.

Upaya pemberantasan korupsi, selama ini, lebih dominan pada pendekatan pertama. Lebih terfokus pada perubahan di tingkat elit. Belum banyak melirik pendekatan kedua: membentuk kesadaran sosial. Membentuk kesadaran masyarakat di tingkat grass root. Padahal perilaku korupsi ujung-ujungnya berdampak besar pada masyarakat. Karena itu, tumbuhnya kesadaran masyarakat akan menciptakan masyarakat yang mampu mendesak pemerintah menciptakan iklim yang bebas dari perilaku korupsi.

Sektor pemerintah yang bersentuhan langsung dengan masyarakat adalah pelayanan publik. Pelayanan publik, yang menjadi tugas pemerintah, lahir dari pesatnya pertumbuhan ekonomi, industri, kelahiran, dan perubahan politik. Tugas utama pelayanan publik adalah melayani berbagai pelayanan umum maupun fasilitas sosial, seperti pendidikan, kesehatan, pengurusan sampah, air minum, transportasi, pengurusan KTP, SIM, dan surat lahir.

Sayangnya, pelayanan publik di Indonesia selama ini terperangkap perilaku korupsi. Ketua KPK Taufiequrachman Ruki, sekali waktu pernah mengatakan bahwa pelayanan publik di Indonesia sarat tindak pidana korupsi. “KPK telah mengungkap korupsi di sejumlah BUMN”, ujar Ruki (AntaraNews, 20 April 2007). Karena itu upaya perbaikan layanan publik akan menjadi langkah maju dalam pemberantasan korupsi.

Menyorot Pelayanan Publik di Indonesia

Pelayanan publik, sesuai KepmenPAN No. 81 tahun 1993, adalah bentuk kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di tingkat pusat, daerah, dan di lingkungan BUMN dalam bentuk barang atau jasa, baik guna memenuhi kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan perundang-undangan.

Hal penting yang menunjang pelaksanaan fungsi-fungsi itu adalah kemampuan birokrasi mengelola dan menghasilkan barang dan jasa (pelayanan) yang ekonomis, efektif, efisien, dan akuntabel kepada seluruh masyarakat. Pelaksanaan fungsi ini idealnya didasarkan pada prinsip equality. Yakni di mana birokrasi tidak boleh memberikan pelayanan secara diskriminatif, yaitu memandang masyarakat yang dilayani atas dasar status, pangkat, dan golongan. (M. Nawir Messi et. al., Indef, 1999).

Lantas, seperti apa realitasnya? Pelayanan publik di Indonesia masih jauh dari harapan masyarakat. Pelayanan publik pada umumnya masih menunjukkan ketidakpastian. Ketidakpastian harga, prosedur, maupun waktu. Pengurusan izin usaha menjadi molor, ditambah pungutan liar di sana-sini. Konsekuensinya, secara ekonomis, timbul biaya ekonomi tinggi. Dampaknya pada rendahnya daya saing Indonesia dibandingkan negara berkembang lainnya. Baik dalam menarik investasi dan memasarkan komoditinya, di dalam maupun luar negeri. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi tersumbat. Pada akhirnya bermuara pada mandeknya peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Kondisi ini terjadi karena organ pelayanan publik tidak pernah dibenahi, yang diperparah dengan korupsi yang terus menggerogoti, sehingga kualitas pelayanan publik di Indonesia jauh dari harapan warga. Organ pelayanan publik mencakup daya manusianya, lembaga yang memberikan pelayanan, dan proses tata laksana pelayanan itu.

Dari sisi daya manusia, si PNS yang memberikan pelayanan tidak pernah dibenahi. Misalnya dengan meningkatkan kesejahteraannya melalui perbaikan sistem remunerasi. Sistem rekrutmen yang selektif demi mendapatkan calon yang terbaik. Selain itu, perlunya perombakan paradigma berpikir usang bahwa pelayan publik harus dilayani bukan melayani.

Dari sisi regulasi, belum ada hukum yang mengatur mekanisme pengaduan masyarakat bila mereka tidak memperoleh pelayanan yang baik dan memuaskan. Masyarakat memiliki posisi tawar yang amat rendah ketika dihadapkan pada pemerintah dan birokrasinya. Mereka tidak memiliki alternatif sumber pelayanan lain. Pelayanan publik menjadi kewenangan monopolis pemerintah. Masyarakat tidak punya ruang yang luas untuk menyampaikan aspirasinya terkait pelayanan publik. Maka, masyarakat mesti memperjuangkan lahirnya peraturan yang bisa mengakomodasi keresahannya. Lewat aturan ini, bila masyarakat merasa tidak mendapatkan pelayanan, mereka bisa melakukan gugatan, atau melakukan keberatan terhadap pemerintah.

Reformasi Pelayanan Publik: Usulan

Reformasi pelayanan publik adalah perbaikan integral pelayanan publik meliputi perbaikan orang, struktur, dan prosesnya. Beberapa usulan di bawah sekiranya menjadi pertimbangan dalam upaya perbaikan tersebut.

Pertama, membentuk pemahaman masyarakat. Hal ini bertujuan agar masyarakat berkesadaran penuh bahwa korupsi telah merampas hak mereka untuk mendapatkan pelayanan publik yang memuaskan.

Kedua, membuat standar dalam pelayanan publik. Ada standar pelayanan, biaya, kualitas, juga standar mekanisme pengaduan. Setiap pelayanan publik yang diterapkan di pusat maupun di daerah harus memiliki standar pelayanan minimal, yang bisa diukur. Salah satu contohnya adalah penetapan batas waktu pengurusan pelayanan publik. Sehingga memudahkan pemerintah untuk mengukur kinerja pelayanan publik dan melakukan evaluasi secara periodik maupun insidentil.

Ketiga, transparansi biaya. Selama ini, umumnya, masyarakat belum mengetahui berapa tarif resmi setiap pengurusan pelayanan publik. Ketidaktahuan masyarakat bisa dimanfaatkan oleh aparat pelayanan publik untuk melakukan pungutan liar. Sejalan dengan itu, mesti ada pemisahan antara petugas perijinan dengan petugas penerima pembayaran. Kebijakan transparansi biaya ini jelas memudahkan masyarakat mengetahui besaran tarif resmi. Pada akhirnya, menutup peluang aparat pelayanan publik melakukan pungutan liar kepada masyarakat.

Keempat, menciptakan budaya pelayanan (service delivery culture). Budaya pelayanan adalah budaya yang berorientasi pada pelayanan masyarakat. Dulu aparat beranggapan, mereka tidak mengabdi pada masyarakat, tetapi pada atasan. Mereka tidak peduli kepentingan masyarakat, tujuannya adalah kepentingan individu dan kepentingan kelompoknya. Bagaimana mungkin orang akan memberikan pelayanan kepada masyarakat, kalau paradigmanya masih paradigma lama seperti itu. Paradigma lama yang menganggap masyarakat hanyalah obyek pelayanan publik, harus direkonstruksi. Aparat bukan sebagai orang yang dilayani, tetapi sebagai orang yang melayani kebutuhan masyarakat.

Kelima, penerapan manajemen SDM berbasis kinerja. Prinsipnya, manajemen SDM berbasis kinerja memberikan kesempatan lebih luas bagi pegawai yang berprestasi. Pegawai yang bisa menunjukkan kinerjanya akan memperoleh apresiasi, dalam bentuk insentif atau peningkatan karir. Jadi, tidak semua orang dapat seenaknya naik pangkat, bila tidak bisa berkinerja baik.

Keenam, mendesak pemerintah mempercepat pembentukan UU Pelayanan Publik. Undang-undang ini mengatur mengenai partisipasi, aspirasi, dan pengaduan masyarakat terhadap pelayanan publik. Sehingga, dari sisi peraturan, masyarakat punya payung hukum untuk mengadu, seandainya pelayanan yang diberikan tidak memuaskan. Beberapa negara sudah menerapkan, dan dikenal dengan nama citizen charter. Isi citizen charter adalah kesepakatan pemerintah dengan masyarakat mengenai kualitas pelayanan publik.

Pertanyaannya adalah dapatkah upaya perbaikan kualitas pelayanan publik di Indonesia berubah ke arah yang diharapkan? Saya berpendapat sangat mungkin. Tentu saja ikhtiar ini mesti memperoleh dukungan pemerintah dan masyarakat, secara bersama. Perlu kesadaran dan usaha nyata pemerintah memperbaiki kualitas pelayanan publik. Sebaliknya, peran masyarakat guna mendorong pemerintah secepatnya mewujudkan pelayanan publik yang populis dan berkualitas sangatlah mendesak.

Tiga Pilar Utama Good Governance

Tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) memerlukan pembangunan tiga pilar utama, sebagai penopang. Ketiga pilar tersebut adalah Transparansi, Akuntabilitas, dan Partisipasi.
 
Pilar kesatu: transparansi. Transparansi berarti keterbukaan pemerintah dan organ-organ di dalamnya kepada publik, sehingga masyarakat mengetahui arus kerja pemerintah.

Menurut Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), tranparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga pemerintahan, dan informasi yang ada di dalamnya perlu untuk dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.

Pilar kedua: akuntabilitas. Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban seseorang atas hasil dari tugas dan kewajibannya. Mengutip tulisan staf Ditjen Depkominfo Teguh Afiriyadi yang menulis: Sirajudin H Saleh dan Aslam Iqbal berpendapat bahwa akuntabilitas merupakan sisi-sisi sikap dan watak kehidupan manusia yang meliputi akuntabilitas internal dan eksternal seseorang. Dari sisi internal, akuntabilitas merupakan pertanggungjawaban seseorang kepada Tuhan-nya. Sedangkan akuntabilitas eksternal adalah akuntabilitas seseorang kepada lingkungannya baik lingkungan formal (atasan-bawahan) maupun lingkungan masyarakat.

Lebih jauh, Deklarasi Tokyo mengenai Petunjuk Akuntabilitas Publik menetapkan pengertian akuntabilitas sebagai kewajiban-kewajiban dari individu-individu atau penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumber-sumber daya publik dan yang bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut pertanggungjawaban fiskal, manajerial, dan program. Menurut Afiriyadi, ini berarti bahwa akuntabilitas berkaitan dengan pelaksanaan evaluasi (penilaian) mengenai standard pelaksanaan kegiatan, apakah standar yang dibuat sudah tepat dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, dan apabila dirasa sudah tepat, manajemen memiliki tanggung jawab untuk mengimlementasikan standard-standard tersebut.

Pilar ketiga: partisipasi. Yang dimaksud partisipasi di sini adalah partisipasi publik, yang dimaknai sebagai keikutsertaan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan pengawasan kebijakan-kebijakan pemerintah. Partisipasi publik menjadi aspek krusial agar pemerintah tidak semena-mena dalam merencanakan dan melaksanakan program-program kerjanya. Di sisi lain, hal ini juga demi menjaga keseimbangan kekuasaan pemerintah supaya tidak menjelma tiran.
 
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana mengelola good governance (GG)? Pengelolaan GG membutuhkan perspektif yang menyeluruh, meliputi aspek politik, ekonomi, sosial, kultur, dan administrasi.
 
Dari sisi politik (political governance), GG mensyaratkan adanya proses perumusan kebijakan yang menyerap sebanyak mungkin aspirasi publik.

Lalu, aspek ekonomis (economic governance) berkaitan dengan proses pembuatan keputusan yang memfasilitasi kegiatan ekonomi dan menjamin adanya persaingan yang sehat di antara pelaku ekonomi.

Kemudian, secara sosial (social governance) meliputi perumusan kebijakan yang memperhatikan setiap lapis struktur masyarakat, juga budaya yang bertumbuh dalam masyarakat (culture governance).

Sementara itu, aspek administrasi (administrative governance) berkaitan dengan sistem implementasi kebijakan yang menyediakan pelayanan terbaik pada masyarakat.

Walaupun demikian, sebagai penutup, harus diakui bahwa sejumlah teori di atas belum tentu secara langsung akan bisa membawa pemerintah kepada pencapaian mutlak Tata Kelola Pemerintahan yang bersih, bertanggungjawab, dan bebas korupsi. Satu hal yang paling penting tentu saja keinginan kuat pemegang kekuasaan untuk menerapkan GG di pemerintah.