Wacana pemberantasan korupsi belakangan ini menjadi bahasa populer. Semua kalangan membincangkannya. Mulai perbincangan formal di tingkatan elit sampai obrolan santai di warung kopi. Hal ini wajar, mengingat orang Indonesia adalah orang yang kenyang jeratan korupsi: sejak lahir hingga diantar ke liang lahat, mulai bangun pagi sampai tidur lagi di malam hari. Korupsi meliputi hampir seluruh ranah kehidupan orang Indonesia: mengurus akta kelahiran, SIM, KTP, mendaftar sekolah, melamar pekerjaan, mengurus pensiun, pulang mudik, memperoleh pengobatan gratis.
Secara teoritis, ada dua pendekatan dalam pemberantasan korupsi. Pendekatan pertama, memusatkan perhatian pada pemerintah. Pendekatan kedua, berpusat pada masyarakat.
Pada pendekatan pertama, subyek utama pemberantasan korupsi adalah struktur pemerintahan dan kebijakannya. Pendekatan ini mendesak adanya undang-undang antikorupsi, perubahan undang-undang antikorupsi, penegakan hukum, dibentuknya pengadilan tipikor, penindakan terhadap para koruptor.
Sementara, pada pendekatan kedua, prioritas utama adalah perubahan sosial. Pendekatan ini berupa penguatan kesadaran masyarakat. Membentuk pemahaman masyarakat bahwa korupsi telah menyaplok hak publik untuk hidup sejahtera.
Upaya pemberantasan korupsi, selama ini, lebih dominan pada pendekatan pertama. Lebih terfokus pada perubahan di tingkat elit. Belum banyak melirik pendekatan kedua: membentuk kesadaran sosial. Membentuk kesadaran masyarakat di tingkat grass root. Padahal perilaku korupsi ujung-ujungnya berdampak besar pada masyarakat. Karena itu, tumbuhnya kesadaran masyarakat akan menciptakan masyarakat yang mampu mendesak pemerintah menciptakan iklim yang bebas dari perilaku korupsi.
Sektor pemerintah yang bersentuhan langsung dengan masyarakat adalah pelayanan publik. Pelayanan publik, yang menjadi tugas pemerintah, lahir dari pesatnya pertumbuhan ekonomi, industri, kelahiran, dan perubahan politik. Tugas utama pelayanan publik adalah melayani berbagai pelayanan umum maupun fasilitas sosial, seperti pendidikan, kesehatan, pengurusan sampah, air minum, transportasi, pengurusan KTP, SIM, dan surat lahir.
Sayangnya, pelayanan publik di Indonesia selama ini terperangkap perilaku korupsi. Ketua KPK Taufiequrachman Ruki, sekali waktu pernah mengatakan bahwa pelayanan publik di Indonesia sarat tindak pidana korupsi. “KPK telah mengungkap korupsi di sejumlah BUMN”, ujar Ruki (AntaraNews, 20 April 2007). Karena itu upaya perbaikan layanan publik akan menjadi langkah maju dalam pemberantasan korupsi.
Menyorot Pelayanan Publik di Indonesia
Pelayanan publik, sesuai KepmenPAN No. 81 tahun 1993, adalah bentuk kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di tingkat pusat, daerah, dan di lingkungan BUMN dalam bentuk barang atau jasa, baik guna memenuhi kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan perundang-undangan.
Hal penting yang menunjang pelaksanaan fungsi-fungsi itu adalah kemampuan birokrasi mengelola dan menghasilkan barang dan jasa (pelayanan) yang ekonomis, efektif, efisien, dan akuntabel kepada seluruh masyarakat. Pelaksanaan fungsi ini idealnya didasarkan pada prinsip equality. Yakni di mana birokrasi tidak boleh memberikan pelayanan secara diskriminatif, yaitu memandang masyarakat yang dilayani atas dasar status, pangkat, dan golongan. (M. Nawir Messi et. al., Indef, 1999).
Lantas, seperti apa realitasnya? Pelayanan publik di Indonesia masih jauh dari harapan masyarakat. Pelayanan publik pada umumnya masih menunjukkan ketidakpastian. Ketidakpastian harga, prosedur, maupun waktu. Pengurusan izin usaha menjadi molor, ditambah pungutan liar di sana-sini. Konsekuensinya, secara ekonomis, timbul biaya ekonomi tinggi. Dampaknya pada rendahnya daya saing Indonesia dibandingkan negara berkembang lainnya. Baik dalam menarik investasi dan memasarkan komoditinya, di dalam maupun luar negeri. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi tersumbat. Pada akhirnya bermuara pada mandeknya peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kondisi ini terjadi karena organ pelayanan publik tidak pernah dibenahi, yang diperparah dengan korupsi yang terus menggerogoti, sehingga kualitas pelayanan publik di Indonesia jauh dari harapan warga. Organ pelayanan publik mencakup daya manusianya, lembaga yang memberikan pelayanan, dan proses tata laksana pelayanan itu.
Dari sisi daya manusia, si PNS yang memberikan pelayanan tidak pernah dibenahi. Misalnya dengan meningkatkan kesejahteraannya melalui perbaikan sistem remunerasi. Sistem rekrutmen yang selektif demi mendapatkan calon yang terbaik. Selain itu, perlunya perombakan paradigma berpikir usang bahwa pelayan publik harus dilayani bukan melayani.
Dari sisi regulasi, belum ada hukum yang mengatur mekanisme pengaduan masyarakat bila mereka tidak memperoleh pelayanan yang baik dan memuaskan. Masyarakat memiliki posisi tawar yang amat rendah ketika dihadapkan pada pemerintah dan birokrasinya. Mereka tidak memiliki alternatif sumber pelayanan lain. Pelayanan publik menjadi kewenangan monopolis pemerintah. Masyarakat tidak punya ruang yang luas untuk menyampaikan aspirasinya terkait pelayanan publik. Maka, masyarakat mesti memperjuangkan lahirnya peraturan yang bisa mengakomodasi keresahannya. Lewat aturan ini, bila masyarakat merasa tidak mendapatkan pelayanan, mereka bisa melakukan gugatan, atau melakukan keberatan terhadap pemerintah.
Reformasi Pelayanan Publik: Usulan
Reformasi pelayanan publik adalah perbaikan integral pelayanan publik meliputi perbaikan orang, struktur, dan prosesnya. Beberapa usulan di bawah sekiranya menjadi pertimbangan dalam upaya perbaikan tersebut.
Pertama, membentuk pemahaman masyarakat. Hal ini bertujuan agar masyarakat berkesadaran penuh bahwa korupsi telah merampas hak mereka untuk mendapatkan pelayanan publik yang memuaskan.
Kedua, membuat standar dalam pelayanan publik. Ada standar pelayanan, biaya, kualitas, juga standar mekanisme pengaduan. Setiap pelayanan publik yang diterapkan di pusat maupun di daerah harus memiliki standar pelayanan minimal, yang bisa diukur. Salah satu contohnya adalah penetapan batas waktu pengurusan pelayanan publik. Sehingga memudahkan pemerintah untuk mengukur kinerja pelayanan publik dan melakukan evaluasi secara periodik maupun insidentil.
Ketiga, transparansi biaya. Selama ini, umumnya, masyarakat belum mengetahui berapa tarif resmi setiap pengurusan pelayanan publik. Ketidaktahuan masyarakat bisa dimanfaatkan oleh aparat pelayanan publik untuk melakukan pungutan liar. Sejalan dengan itu, mesti ada pemisahan antara petugas perijinan dengan petugas penerima pembayaran. Kebijakan transparansi biaya ini jelas memudahkan masyarakat mengetahui besaran tarif resmi. Pada akhirnya, menutup peluang aparat pelayanan publik melakukan pungutan liar kepada masyarakat.
Keempat, menciptakan budaya pelayanan (service delivery culture). Budaya pelayanan adalah budaya yang berorientasi pada pelayanan masyarakat. Dulu aparat beranggapan, mereka tidak mengabdi pada masyarakat, tetapi pada atasan. Mereka tidak peduli kepentingan masyarakat, tujuannya adalah kepentingan individu dan kepentingan kelompoknya. Bagaimana mungkin orang akan memberikan pelayanan kepada masyarakat, kalau paradigmanya masih paradigma lama seperti itu. Paradigma lama yang menganggap masyarakat hanyalah obyek pelayanan publik, harus direkonstruksi. Aparat bukan sebagai orang yang dilayani, tetapi sebagai orang yang melayani kebutuhan masyarakat.
Kelima, penerapan manajemen SDM berbasis kinerja. Prinsipnya, manajemen SDM berbasis kinerja memberikan kesempatan lebih luas bagi pegawai yang berprestasi. Pegawai yang bisa menunjukkan kinerjanya akan memperoleh apresiasi, dalam bentuk insentif atau peningkatan karir. Jadi, tidak semua orang dapat seenaknya naik pangkat, bila tidak bisa berkinerja baik.
Keenam, mendesak pemerintah mempercepat pembentukan UU Pelayanan Publik. Undang-undang ini mengatur mengenai partisipasi, aspirasi, dan pengaduan masyarakat terhadap pelayanan publik. Sehingga, dari sisi peraturan, masyarakat punya payung hukum untuk mengadu, seandainya pelayanan yang diberikan tidak memuaskan. Beberapa negara sudah menerapkan, dan dikenal dengan nama citizen charter. Isi citizen charter adalah kesepakatan pemerintah dengan masyarakat mengenai kualitas pelayanan publik.
Pertanyaannya adalah dapatkah upaya perbaikan kualitas pelayanan publik di Indonesia berubah ke arah yang diharapkan? Saya berpendapat sangat mungkin. Tentu saja ikhtiar ini mesti memperoleh dukungan pemerintah dan masyarakat, secara bersama. Perlu kesadaran dan usaha nyata pemerintah memperbaiki kualitas pelayanan publik. Sebaliknya, peran masyarakat guna mendorong pemerintah secepatnya mewujudkan pelayanan publik yang populis dan berkualitas sangatlah mendesak.
Rabu, 16 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar