Orang selalu kagum pada seorang pemimpin. Di dunia ini, terutama di banyak organisasi, terserak melimpah ruah pimpinan, tetapi sedikit pemimpin. Pimpinan belum tentu seorang pemimpin. Pimpinan lebih bersifat manajerial. Pimpinan bekerja berdasarkan SK. Kepemimpinan bukan saja bersifat manajerial. Kepemimpinan adalah juga perilaku. Pemimpin tidak harus selalu mendapatkan legitimasi formal.
Tidak bisa dipungkiri bila banyak orang kagum pada Bung Karno, juga terinspirasi Mahatma Gandhi (maha = besar, atma = jiwa, jadi mahatma berarti jiwa yang besar). Orang terpesona oleh John F. Kennedy, kagum pada Hitler, dan salut pada Nelson Mandela.
Tak sedikit pula yang kagum pada kegigihan Martin Luther King, kepintaran Abdurrachman Wahid, kejujuran Nurcholish Madjid, kecerdasan Jalaluddin Rakhmat, semangat Mahathir Mohamad. Mereka semua menyimpan fakultas (kualitas) kepemimpinan.
Lantas, apakah yang disebut kepemimpinan? Ada beragam definisi kepemimpinan. Menurut Hill & Coons, kepemimpinan adalah perilaku seorang individu ketika ia mengarahkan sebuah kelompok menuju tujuan bersama. Menurut Stogdill, kepemimpinan adalah pengawalan dan pemeliharaan suatu struktur dalam harapan dan interaksi. Dalam definisi Roach & Behling, kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas sebuah kelompok terorganisasi menuju pencapaian suatu tujuan. Saya masih bisa sebutkan lagi sejumlah definisi kepemimpinan.
Memang ada beraneka ragam definisi tentang kepemimpinan. Untungnya, Sarlito Wirawan Sarwono, psikolog sosial dari Universitas Indonesia, dalam bukunya Psikologi Sosial, merangkum definisi-definisi tadi menjadi satu definisi integral. Menurut Sarlito, kepemimpinan adalah suatu proses, perilaku, atau hubungan yang menyebabkan suatu kelompok dapat bertindak secara bersama-sama atau bekerja sama atau seusai dengan tujuan bersama. Berkaitan dengan definisi itu, yang dinamakan pemimpin adalah seorang yang melaksanakan proses, perilaku, atau hubungan dalam kelompok tersebut.
Alexandra Auguste Ledru-Rollin, politisi Perancis yang hidup dua setengah abad lalu, menegaskan bahwa seorang pemimpin adalah penyeru: “Ya, sayalah pemimpin, karena itu saya harus mengikuti kemauan orang-orang yang saya pimpin!” Pemimpin mustinya mengikuti kepentingan dan keinginan orang banyak yang selayaknya dilayani. Di negeri kita, betapa gampang menemukan “penguasa”, betapa sulit bertemu “pemimpin”.
Sukarno, Gandhi, Kennedy, Mandela, King, dan Mahathir adalah pemimpin hebat. Mereka sepertinya lahir untuk menjadi pemimpin. Sepertinya bakat kepemimpinan telah melekat dalam diri mereka. Sepertinya Tuhan telah mencampakkan bakat itu sejak mereka dalam belaian orang tuanya. Mereka terlahir sebagai pemimpin.
Dus, apakah seorang pemimpin memang semata-mata dilahirkan? Ini pertanyaan besar. Bila jawabannya iya, maka hal ini sangatlah tidak adil. Karena dengan begitu sifat-sifat kepemimpinan tidak bisa dimiliki semua orang. Sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang bisa menikmati anugerah kepemimpinan. Karenanya, bagaimana sesungguhnya asal mula pemimpin?
Dalam literatur-literatur kepemimpinan, ada tiga buah konsep dasar mengenai asal-usul kepemimpinan dan pemimpin. Ketiga teori tersebut adalah teori genetis, sosial, dan sintesis.
Yang pertama, teori genetis. Teori genetis mengatakan bahwa pemimpin itu dilahirkan. Kepemimpinan mengikuti garis keturunan. Kepemimpinan adalah bakat yang telah ada sejak seseorang dilahirkan. Megawati dianggap memiliki bakat kepemimpinan karena ayahnya seorang pemimpin. Sementara si Udin tidak dianggap memiliki kualitas kepemimpinan karena ayahnya cuma seorang petani desa. Tetapi, benarkah begitu?
Pertanyaan di atas membawa pada teori kedua: teori sosial. Teori ini mengatakan bahwa pemimpin lebih merupakan bentukan sosial. Pemimpin datang dari lingkungan sosial yang membentuknya. Intinya, menurut teori sosial, pemimpin bukan bakat, melainkan suatu proses penciptaan oleh lingkungan sosialnya.
Namun, kedua teori tadi sangat bersifat deterministik: pemimpin semata-mata hanya ditentukan oleh gen (garis keturunan) atau oleh lingkungan sosial. Mustinya pemimpin itu adalah seorang yang dilahirkan (memiliki bakat kepemimpinan) dan juga telah dipupuk oleh lingkungannya. Pemimpin bukan hanya bakat, tetapi juga harus memperoleh dukungan dari kelompok sosialnya, agar bakat itu bisa tumbuh berkembang. Inilah teori ketiga. Teori ini menggabungkan teori genetis dan teori sosial. Karena itu teori yang ketiga ini dikenal dengan sebutan teori sintesis.
Jujur saja, saya tidak sepenuhnya sepakat dengan ketiga teori di atas. Saya tidak percaya bahwa pemimpin itu semata dilahirkan. Saya tidak setuju bila dikatakan pemimpin itu hanya diciptakan oleh lingkungan sosialnya. Saya lebih tidak sependapat dengan teori sintesis yang cuma menggabungkan teori genetis dan sosial.
Bagi saya, kepemimpinan adalah kualitas pribadi. Kepemimpinan diolah dan dipoles secara sadar oleh si individu itu sendiri. Kepemimpinan tidak terkait dengan bakat. Kepemimpinan tidak ada hubungan dengan kondisi sosial. Kepemimpinan adalah proses sadar dari sang calon pemimpin untuk suatu saat siap menjadi pemimpin. Artinya, dia mempersiapkan dirinya sendiri untuk siaga menjadi pemimpin di masa depan. Atas dasar itu, siapapun bisa menjadi pemimpin. Minimal pemimpin bagi diri sendiri.
Rabu, 16 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
semua manusia memang ditakdirkan untuk menjadi pemimpin, ya pemimpin bagi dirinya sendiri, namun jika dikembalikan pada definisi kepemimpinan apakah semua orang bisa, sudahkan melakukan eksperimen atau penelitian tentang hal ini? sebagai contoh dalam sekelompok kecil aktivis kampus atau sekolah, apakah semua aktivis tersebut bisa menjadi pemimpin yang dapat memfasilitasi anggotanya untuk mencapai tujuan bersama? dikemudian hari? kalau saya sih tidak yakin. justru disini peran bakat dan keturunan sangat menentukan keterampilan mereka dalam memimpin (sesuai dengan definisnya). kecuali jika ada definisi lain ya terserah yg penting konsisten dengan rujukannya... jika kita memimpin diri sendiri, hal apakah yg harus kita sepakati? dengan siapa hal itu di sepakati? siapa yang akan melakukan pengendalian terhadap kesepakatan itu? jika kepemimpinan adalah proses sadar, apakah mereka yg tidak mempersiapkan dirinya untuk menjadi pemimpin berada dalam ketidak sadaran? ataukah mereka tidak tertarik untuk memimpin? lalu siapa yang menggerakkan mereka untuk menjadi sadar dan mempersiapkan diri mereka untuk menjadi pemimpin? mungkin jawabannya adalah naluri yang dibawa sejak lahir...
BalasHapus
BalasHapusThanks infonya. Oiya ngomongin pemimpin, banyak loh orang yang nanya: Bisa ga ya generasi milenial itu jadi pemimpin yang berkualitas? Maklum, milenial kan sering banget tuh dicap negatif karena perilakunya yang dianggap malas, banyak nuntut, dan masih banyak lagi. Mau tau selengkapnya, yuk buruan cek di sini: Bisakah generasi milenial jadi pemimpin hebat?